Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bahaya Bicara Wacana Agama Tanpa Ilmu

Ilmu agama merupaka serpihan penting dalam hidup. Ilmu dan amal mempunyai serpihan dekat yang tidak sanggup dipisahkan. Amalan yang tidak didasari dengan ilmu maka tidak akan diterima amalan itu sehingga dikarenakan hal ini maka menuntut ilmu hukumnya wajib. Tidak hanya dalam beribadah, saat berbicara juga dituntut untuk bakir biar tidak adanya kesalahan dalam pemahaman agama lantaran ini berkaitan dengan relasi insan dengan sang Khaliq. Berbicara mengenai agama tanpa didasari dengan ilmu akan menjadikan kesalahan lantaran ilmu agama tidak sanggup ditafsirkan seenaknya dan dilakukan oleh orang biasa. Semua yang berkaitan agama harus mempunyai dasar aturan yang terang yaitu Alquran, Hadits, Ijma’ dan Ijtihat. Keempat kasus ini merupakan dasar aturan dalam Agama Islam.

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
 Ilmu agama merupaka serpihan penting dalam hidup Bahaya Bicara perihal Agama Tanpa Ilmu
Buku

Ketentuan-ketentuan serta ilmu yang terkandung dalam Quran dan Hadits sudah dilakukan penafsiran oleh para ulama termasuk di dalamnya adanya Ijtima’ dan Ijtihat sebagai sumber aturan sekaligus sumber ilmu yang tidak sanggup dilakukan oleh orang biasa. Maka oleh alasannya itu menuntu ilmu itu wajib bagi sekalian muslim. Namun jikalau seorang yang tidak bakir kemudian berbicara tetang agama maka akan menjadikan ancaman baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara ancaman berbicara dilema agama tanpa ilmu:

1. Hal itu merupakan kasus tertinggi yang diharamkan oleh Allah.


Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak insan tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kau ketahui (berbicara perihal Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahulloh berkata: “Berbicara perihal Allah tanpa ilmu termasuk kasus terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Allah mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah hingga yang paling tinggi.

Dan berbicara perihal Allah tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) perihal hukum-hukum-Nya, syari’at-Nya, dan agama-Nya. Termasuk berbicara perihal nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) perihal syari’at-Nya, dan agama-Nya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

Membicarakan perihal Allah tanpa ilmu akan menjadikan kesalahan penafsiran dan sanggup menyesatkan orang lain. Karena bahu-membahu Quran dan Hadits itu tidak sanggup ditafsirkan oleh orang-orang awam. Berbicara perihal Allah itu tidak semudah membalik telapak tangan lantaran hal ini sanggup mengakibatkan seorang terjerumus ke dalam lobang kemusyrikan. Maka oleh alasannya itu tuntutlah ilmu terlebih dahulu atau membisu saja jikalau tidak mengetahui apa-apa lantaran hal tersebut lebih baik.

2. Berbicara perihal Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kau menyampaikan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

Orang-orang yang ini yaitu orang yang menafsirkan aturan seenaknya tanpa didasari ilmu agama. Orang-orang ini hanya mempertahankan egonya biar terlihat andal dan paham akan ilmu agama padahal hal tersebut dilarang dilakukan lantaran dia melaksanakan kebohongan terhadap Allah. Jika seorang itu menyadari dia tidak mengetahui suatu hal maka lebih baik membisu baginya daripada harus menyampaikan suatu kebohongan. Apalagi bagi orang-orang yang suka melaksanakan debat kusir yang ilmunya tidak terang kebenarannya bahkan bertentangan dengan aturan dasarnya maka sunguh ini sangat berbahaya.

3.Berbicara perihal Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba-Nya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga saat Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)

Hadits ini memperlihatkan bahwa “Barangsiapa tidak bakir dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Allah halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)

Banyak sekali pada zaman yang penuh fitnah dan dusta ini terjadi menyerupai ini. Ada yang bakir tetapi menyesatkan dan ada pula yang tidak bakir juga menyesatkan lantaran mempertahankan ego biar terlihat andal dan pandai padahal semua yang difatwakan sama sekali tidak benar. Menfatwakan hal-hal yang salah akan menciptakan orang lain sesat dan orang lain akan memberitakan hal yang sama kepada orang lain lagi sehingga akhir dari fatwa seorang yang salah lantaran berbicara perihal agama tanpa ilmu maka akan mengiring orang lain kedalam kesesatan.

4.Berbicara perihal Allah tanpa ilmu merupakan perilaku mengikuti hawa-nafsu.

Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka bahu-membahu dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ

Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash: 50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

Demi mempertahankan ego dan martabat seorang terkadang rela berbicara soal agama tanpa didasari ilmu agama yang benar. Bahkan sebagian lagi rela mengolok-golok ilmu agama hanya untuk mencari sesuap nasi, sungguh hina sekali mereka. Hawa nafsu menciptakan mereka memandang halal apa yang haram dan memandang haram kasus yang halal. Semua itu lantaran yang bersangkutan tidak mempunyai ilmu agama sehingga berada dalam marah Allah SWT.

5.Berbicara perihal Allah tanpa ilmu merupakan perilaku mendahului Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adat terhadap Allah dan Rasul-Nya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepada-Nya. Allah telah memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan biar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam seluruh kasus mereka. Dan biar mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya, sehingga janganlah mereka berkata, hingga Allah berkata, dan janganlah mereka memerintah, hingga Allah memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)

Maksudnya yaitu seorang yang berbicara perihal agama tanpa dasar ilmu yaitu orang yang mendahului Allah dalam memperlihatkan aturan sesuatu. Karena terkadang Allah dan Rasul-nya tidak menetapkan aturan demikian tetapi lantaran seorang tersebut tidak adanya ilmu maka menetapkan aturan yang salah terhadap suatu perkara.  Banyak juga yang membolak-balik aturan yang sudah ada padahal hukumnya belum atau sama sekali tidak berubah. Ada juga yang berbicara perihal aturan suatu kasus dengan menyatakan haram untuk kasus lain padahal hukumnya harus. Maka hal menyerupai ini harus dihindari dengan menuntu ilmu agama.

6.Orang yang berbicara perihal Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.

Orang yang berbicara perihal Allah tanpa ilmu yaitu orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh lantaran itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Barang siapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapat pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapat dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)

Banyak sekali kita jumpai pada zaman yang penuh dusta dan fitnah ini orang-orang yang suka menyesatkan orang lain dengan fatwanya. Terutama orang yang tidak berilmu, jikalau seorang berfatwa atau menghukum sesuatu dengan tidak ada dasar ilmu agama alias dengan hawa nafsunya maka semua dosa yang mengerjakannya yaitu ditanggung oleh siapa yang menyesatkan. Apalagi orang yang mempunyai ilmu tetapi malah menyesatkan orang lain maka hal ini lebih berbahaya.

7.Berbicara perihal Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.


Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kau mengikuti apa yang kau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)

Setelah menyebutkan pendapat para Salaf perihal ayat ini, imam Ibnu Katsir rahimahulloh berkata: “Kesimpulan klarifikasi yang mereka sebutkan adalah: bahwa Allah Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan asumsi dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

8.Orang yang berbicara perihal Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.


Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara perihal Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa perihal agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian dia membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya yaitu firman Allah di bawah ini:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barang siapa yang tidak menetapkan berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu yaitu orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)

Orang-orang menyerupai ini yaitu orang yang suka membolak-balik hukum. Misalnya dalam sumber aturan agama menyerupai Alquran, Hadits, Ijma’ dan Ijtihat telah dinyatakan sesuatu hal itu haram maka tiba seorang menfatwakan sesuatu itu boleh dengan membalikkan tafsir dari sumber Hukum Islam tadi baik untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Yang bahayanya lagi pada zaman kini ini banyak orang yang bakir melakukannya sehingga menyesatkan banyak orang.


9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]

Jalan Ahlusunnah Wal Jamaah memfatwakan dan berhukum dengan aturan yang jelas. Dalam Ajaran Islam ini merupakan anutan yang benar. Jika seorang berbicara perihal agama perihal ilmu maka hal itu menyalahi Ahlusunnah Wal jamaah lantaran sanggup menciderai hukum-hukum yang benar.


10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.

Allah berfirman:

إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kau berbuat jahat dan keji, dan menyampaikan kepada Allah apa yang tidak kau ketahui. (QS. 2:169)

Syaithan akan melaksanakan banyak sekali cara untuk menyesatkan ummat insan semenjak zaman nabi Adam hingga Ummat Nabi Muhammad SAW.. Mereka tidak merasa lelah dan mengalah untuk terus membujuk rayu seluruh insan untuk menjadi kawannya di dalam neraka Jahannam. Maka salah satu langkah yang mereka lakukan yaitu dengan menyesatkan orang melalui orang yang berbicara perihal agama tanpa ilmu. Setan terus menghasut orang yang tidak bakir untuk menggaungkan kebohongan dan kesesatan dalam agama, naudzubillahiminzalik.

Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara dilema agama hendaklah dia berguru lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallahu a’lam bish shawwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.

Sumber https://www.berimanblog.com/